Regional

Dituntut Hukuman Mati, Eks Anggota DPRD Ini Ciut, Doni Mengaku Tulang Punggung Keluarga

Dituntut hukuman mati, mantan anggota DPRD Kota Palembang, Doni ciut nyalinya. Doni dan gerombolannya yang tertangkap menguasai sabu sabu berjumlah besar pun mengakui perbuatannya. Mereka mengaku menyesal dan minta hakim tidak memvonis sesuai tuntutan jaksa.

Mantan anggota DPRD Palembang, Doni bersama empat rekannya yang terjerat kasus narkotika kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri Palembang, Kamis (25/3/2021). Beragendakan pembacaan pledoi, Doni bersama rekan rekannya kompak memohon kepada hakim agar dibebaskan dari hukuman mati sebagaimana tuntutan JPU Kejari Palembang terhadap mereka. Sidang ini dipimpin Bongbongan Silaban selaku ketua Majelis hakim yang juga menjabat Ketua Pengadilan Negeri Palembang.

"Mereka semua sudah mengakui perbuatannya dan sangat menyesal dengan apa yang terjadi. Untuk itu mereka memohon agar terlepas dari ancaman hukuman mati," ujar Supendi, kuasa hukum Doni dan kelima rekannya saat diwawancarai setelah persidangan. Menurut Supendi, vonis hukuman mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu ia juga mengacu pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28A yang berbunyi setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

"Jadi kami sangat menolak adanya hukuman mati dan sangat berharap majelis hakim bisa mempertimbangkan permohonan yang kami ajukan. Kami meminta hukuman minimal setidaknya 20 tahun penjara atau maksimal seumur hidup," ujarnya. Adapun identitas orang orang yang turut diamankan bersama Doni yaitu Joko Zulkarnain, Alamsyah, Ahmad Najmi Ermawan, Yati Suherman dan Mulyadi. Terkhusus bagi Doni, dikatakan Supendi bahwa mantan anggota dewan itu memohon keringanan hukuman karena merupakan seorang kepala keluarga dan memiliki anak anak yang masih kecil.

"Doni tidak punya orang tua lagi, sedangkan ayah dari istrinya juga sudah meninggal. Sehingga dia adalah tulang punggung keluarga yang mempunyai tanggung jawab bagi anak anaknya," ujar Supendi. Sementara itu, satu satunya terdakwa perempuan dalam perkara ini, Yati Suherman juga menyampaikan permohonannya untuk dibebaskan dari ancaman hukuman mati. Yeti mengaku, tergiur mengikuti jejak suaminya, terdakwa Joko Zulkarnain (kini DPO), dikarenakan faktor ekonomi.

"Suaminya juga masih kabur dan dia punya anak yang harus dibesarkan. Dia juga tergiur ikut urusan ini karena faktor ekonomi," jelasnya. Diketahui, satu dari enam terdakwa dalam kasus ini, Joko Zulkarnain berhasil melarikan diri. Joko yang merupakan tahanan Kejari Palembang, berhasil kabur saat menjalani perawatan di RS Bhayangkara Moh Hasan Palembang, Sabtu (16/1/2021) lalu.

Sementara itu, JPU Kejari Palembang menuntut Doni dan keempat rekannya yang masih berada di tahanan dengan pidana mati. Kelimanya dinilai terbukti melanggar ketentuan pasal 114 ayat 2 jo pasal 132 ayat 1 UU RI 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. "Bahwa para terdakwa terbukti melakukan tindakan pidana permufakatan jahat sebagaimana yang dituangkan dalam dakwaan primer," ujar JPU secara bergantian saat membacakan tuntutan dalam sidang yang digelar secara virtual oleh Pengadilan Negeri Palembang, Kamis (4/3/2021).

Kasi Pidum Kejari Palembang, Agung Ary Kesuma, ketika dikonfirmasi mengatakan, tuntutan pidana mati terhadap Doni dan keempat rekannya diberikan setelah tim JPU menimbang berbagai fakta fakta dalam persidangan. Meliputi banyaknya barang bukti yang diamankan bersama para terdakwa. "Mereka juga adalah jaringan lintas negara yang dalam fakta persidangan diketahui ada seorang bandar di Malaysia berinisial RZ dan kini masih buron," jelasnya.

Terkhusus untuk terdakwa Doni, pertimbangan dalam memberikan pidana mati dikarenakan saat ditangkap BNN bersama BNNP Sumsel, ia masih menjabat sebagai anggota aktif DPRD Palembang. Padahal sebagai anggota dewan, Doni semestinya menjadi contoh dan tokoh yang baik bagi masyarakat. "Dan menurut kami tidak ada hal hal yang meringankan bagi mereka," ujar.

Sidang ini akan dilanjutkan dua pekan kedepan dengan agenda pembacaan pledoi (nota pembelaan) dari para terdakwa. Yati Surahman, satu satunya terdakwa perempuan dalam kasus narkotika yang juga melibatkan Doni, mantan anggota DPRD Palembang, memohon dibebaskan dari hukuman mati. Seperti diketahui, Doni bersama Yati Surahman, Mulyadi, Ahmad Najmi Ermawan dan Alamsyah, dituntut hukuman mati oleh JPU Kejari Palembang karena terlibat atas kasus jaringan pengedar narkotika lintas provinsi.

Sedangkan Joko Zulkarnain, suami Yati Surahman yang turut diamankan bersama mereka, hingga kini masih buron setelah berhasil kabur saat menjalani perawatan di rumah sakit. "Terdakwa Yati terlibat kasus ini karena terdesak kebutuhan ekonomi," ujar Supendi, kuasa hukum Doni dan kelima rekannya saat diwawancarai setelah persidangan beragendakan pembacaan pledoi yang digelar di Pengadilan Negeri Palembang, Kamis (25/3/2021). Dijelaskan Supendi, desakan ekonomi yang melanda Yati dikarenakan suaminya sedang mengalami sakit.

Tak dijelaskan secara pasti sakit yang dialami terdakwa Joko Zulkarnain. Namun Supendi menjelaskan bahwa penyakit itu membuat Joko Zulkarnain tak bisa bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarganya. "Karena itulah terdakwa Yati tergiur ikut terlibat dalam perkara ini. Karena suaminya sakit sehingga dia tergiur dengan upah yang dijanjikan dan keinginannya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup," ujarnya.

Supendi berharap seluruh kliennya dalam perkara ini bisa terbebas dari jeratan hukuman mati. Sebab menurutnya, vonis hukuman mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu ia juga mengacu pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28A yang berbunyi setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

"Jadi kami sangat menolak adanya hukuman mati dan sangat berharap majelis hakim bisa mempertimbangkan permohonan yang kami ajukan. Kami meminta hukuman minimal setidaknya 20 tahun penjara atau maksimal seumur hidup," ujarnya. Diketahui, Joko Zulkarnain, suami terdakwa Yati Surahman yang juga terlibat dalam kasus ini, berhasil melarikan diri. Joko yang merupakan tahanan Kejari Palembang, berhasil kabur saat menjalani perawatan di RS Bhayangkara Moh Hasan Palembang, Sabtu (16/1/2021) lalu.

Kasi Pidum Kejari Palembang, Agung Ari Kusuma saat dikonfirmasi menjelaskan, kronologi kaburnya Joko Zulkarnain terjadi saat tahanan di Rutan Pakjo itu menjalani perawatan di lantai 3 RS Bhayangkara M Hasan Palembang. Dari hasil rekam medis yang dilakukan, Joko mengalami pembengkakan pada paru paru. Saat itu ia dikawal oleh dua petugas Kejari Palembang.

"Disaat kejadian itu, petugas kami pergi mencari makanan saat Joko dirasa sudah tidur. Saat itu tangannya juga diborgol di ranjang," ujarnya, Kamis (18/2/2021). Namun rupanya, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Joko untuk melarikan diri. Dari rekaman CCTV yang beredar, Agung mengatakan, petugas berjalan meninggalkan ruang perawatan pada pukul 21.35 WIB.

Sedangkan, Joko pergi meninggalkan ruang rawatnya pada pukul 21.43 dan petugas kembali ke tempat itu pada pukul 21.55 WIB. "Jadi tidak sampai 20 menit dia ditinggal sendiri. Dari rekaman di CCTV, tahanan itu berjalan seorang diri. Istilahnya dia menyamar seperti pengunjung dan seolah olah tidak terjadi apa apa sehingga bisa kabur," ujarnya. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menemukan keberadaan tahanan tersebut.

Termasuk dengan berkoordinasi kepada kepolisian dari Polrestabes Palembang maupun Polda Sumsel. "Setelah diketahui bahwa yang bersangkutan melarikan diri, kita langsung melakukan penyisiran. Serta melaporkan secara berjenjang permohonan penetapan DPO kepada polresta palembang. Upaya pencarian terus kita lakukan hingga kini," ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *